Selalu menyebut nama tanpa ada embelan ‘akhi’ pada para ikhwah teman sebaya membuat saya dikatakan kasar oleh salah seorang diantara mereka. Katanya, cuma saya satu-satunya akhwat yang memanggilnya dengan nama saja. Wah! Gawat nih langsung saja saya minta maaf padanya. Permintaan maaf pun diterima dan dia pun mengatakan “Tidak masalah, tak usah formal-formal kali”
Wah! Ngeri juga ya. Gitu aja dikatakan kasar. Kalau satu orang dari mereka mengatakan saya kasar, jangan-jangan semua ikhwan yang saya panggil namanya tanpa embel-embel ‘akhi’ menganggap saya kasar juga. Yah, mungkin dibenak mereka akhwat itu selalu lembut dan manis. Tapi tak apalah, bukan masalah besar kurasa.
Yang penting saya nyaman memanggil nama mereka saja tanpa embel-embel ‘akhi’. Senyaman saya memanggil ikhwan yang lebih tua dengan panggilan ‘kak’ daripada ‘pak’, karena tak mungkin memanggil mereka’bang’ apalagi ‘om’.
Sebegitu penting kah kata sapaan di dalam interaksi ini ? Membuatku bertanya pada seorang kakak. Dia mengatakan panggilan ‘akhi’ hanya untuk menunjukkan rasa persaudaraan yang dapat mempererat ukhuwah islamiyah dan lebih sopan. Lain halnya ketika kita sudah mengenalnya sebelum sama-sama masuk ke lingkaran ini, sebab akan terasa canggung jika memanggilnya dengan sebutan ‘akhi’ atau ‘ukhti’. Tak ada kata persetujuan dan larangan yang keluar dari kata-katanya.
Saya juga pernah ditegur oleh seorang teman ketika memanggil seorang ikhwah yang usianya lebih tua sekitar 6 tahun dengan panggilan ‘kak’.
Dengan matanya yang hampir mendelik dia berujar,
“Bukan Kak tapi Pak”
Emmhh, okelah lagi-lagi masalah sapaan. Yang dipanggil dengan sebutan kakak saja tak pernah protes.
Lalu, saya pun teringat peristiwa di syura kemarin, pembicaraan berputar-putar antara progja dan gebrakan baru untuk semester depan. Semuanya berjalan apa adanya, tak ada yang istimewa hanya saja tak ada sekum kami disana. Dan ini bukanlah masalah utamanya, karena pasti kan ada orang yang akan menggantikannya.
Pembicaraan mengalir dan mendaulat si Kawan yang sedang mengenakan jilbab biru itu mengeluarkan pendapatnya.
Lantas kudengar ada suara tawa, dan aku pun ikut tertawa. Sekilas kulihat wajah ketua kami, ternyata ia pun tersenyum. Ku lihat telunjuk temanku yang satunya mendekat ke bibirnya seperti memberi komando agar si Kawan segera berhenti. Si Kawan pun tak mendengarnya dan tetap saja berbicara dengan abangnya itu.
Ada rasa yang meggelitik saat si Kawan menyebut ‘bang’, terlebih lagi pada saat syura yang seharusnya formal. Walaupun kurasa syura kami tak pernah formal. Bagiku terdengar riskan panggilan ‘abang’mu itu ketika kita melakukan syura.
Cuplikan diatas memang bukanlah hal yang terlalu penting untuk dibahas. Tapi aneh rasanya jika peristiwa tersebut dilakukan oleh suatu wadah di bawah bendera. Menyebut nama tanpa ‘akhi’ saja sudah dikatakan kasar. Memanggil ‘kak’ tanpa ‘pak’ saja ada yang protes. Lalu bagaimana dengan panggilan ‘bang’ yang terlontar ketika sedang melaksanakan syura ?
Salahkah aku memprotes panggilan ‘abang’mu itu ?
Yah ! mungkin saja kau sudah mengenalnya terlebih dahulu sebelum kita bersama-sama memasuki wadah tersebut.
Tapi tetap saja beda kan! Duhai yang mengaku dirinya aktivis dakwah. (Ri_Rus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar