Tayangan halaman minggu lalu

3

Selasa, 08 Maret 2011

Menulislah

“Kau, Nak paling sedikit kau harus bisa berteriak.
Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun ? karena kau menulis, suara takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh dikemudian hari...
Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer)


Masih ingatkah kapan pertama kali kita menulis ? mungkin saat usia 4, 5, atau 6 tahun? Tak ada jawaban pasti untuk hal itu, karena tak ada yang bisa membuktikan dan kita tidak pernah mencatatnya.

Berapa banyak orang besar yang karyanya masih tetap dibaca dan dijadikan sumber inspirasi walaupun penulisnya sudah meninggal. Lihat saja Buya Hamka dengan bukunya ‘Di Bawah Lindungan Kabah’, Imam Ghazali dengan kitabnya ‘Ihya Ulumuddin’, Taufik Ismail dengan banyak puisinya, Imam Syafii dengann mazhabnya yang masih bisa kita baca hingga saat ini juga Imam Bukhari dengan hadist-hadistnya.

Semua itu masih bermanfaat bagi orang lain walaupun yang menulisnya sudah tak berada di dunia ini. Tulisan mereka adalah sedekah zariyah buat mereka yang akan terus mengalir pahalanya seperti air sungai.

Dengan menulis kita bisa menjadi siapapun yang kita mau. Menulis adalah peluapan emosi yang merupakan dasar terapi bagi jiwa. Menulis itu obat ketika kita merasa tidak puas dengan suatu keadaan yang kita rasakan. Menulis itu menyembuhkan karena mengeluarkan semua pikiran yang kita punya. Menulis itu asyik, karena bisa mengubah pikiran orang banyak. Bonusnya lagi kita bisa memperoleh honor apabila tulisan kita dimuat di koran, majalah atau media cetak lainnya. Juga bisa terkenal seperti Kang Abik, penulis Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Bumi Cinta.

Apa yang kita tulis tidak jauh beda dengan apa yang kita baca. Banyak membaca banyak menulis, eistz belum tentu juga. Banyak orang yang membaca tapi tak pernah menulis. Kalaun pun dia menulis hanya di buku hariannya saja. Dimana buku itu diletak di kamar di sebuah box yang tertutup rapat lalu ditaruh di kolong tempat tidur. Jika ia pergi, maka kamarnya akan dikunci begitu juga dengan pintu rumah dan pagarnya. Tulisannya itu bagai harta karun berharga yang tak ada seseorang pun yang membaca tulisannya.

Lalu apa sebabnya tidak menulis untuk orang lain? Takut diejekkah? Belum bisakah ? Tidak sempatkah? Bukankah seharusnya seorang pemuda itu bermental pejuang, yang tak mudah menyerah, selalu mencoba, dan terus memperbaiki diri.

Bukankah seorang pemuda Islam itu harus bisa memanfatkan waku yang dimilikinya dan bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Dengan menulis kita bisa menyuarakan kebaikan dan kebenaran yang mungkin tak bisa kita samapikan saat kita berceramah atau berpidato.

Jika seseorang yang berpidato, berceramah dalam suatu majelis, hanya bisa mempengaruhi orang yang berada di dalam majelis itu. Lain dengan sorang penulis, tulisannya itu bisa dibaca orang banyak dan bisa diulang-ulang bahkan oleh ribuan orang.
Tidak inginkah kita berbagi ilmu dengan orang lain melalui tulisan ringan yang bermanfaat? Lalu kenapa tidak mulai sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar